DUTA MASYARAKAT SURABAYA - Secara teori partai berbasis agama tidak bisa besar. Tapi teori ini bisa jadi keliru sebab di negara-negara maju justru berbalik. Partai-partai besar selalu terkait dengan ideologi atau agama. Demikian Prof Dr Kacung Marijan, pengamat politik Unair Surabaya, mengawali paparan politiknya dalam acara konsolidasi pengurus PKNU Jawa Timur, di Gedung Astra Nawa, Surabaya, Sabtu (12/3) kemarin.
Guru Besar FISIP Unair ini kemudian memberikan potret lengkap perihal hitam-putihnya perpolitikan di Indonesia. Menurutnya, PKNU masih memiliki peluang besar menuju Senayan, jika para pengemudinya tahu betul lika-liku politik yang ada. “Masih ada peluang besar. Tinggal bagaimana menangkap peluang itu dengan cermat,” jelasnya.
Ia kemudian memaparkan peta politik parpol Islam. Menurutnya, pemilu tahun 1955 memang cukup menggembirakan, parpol Islam kala itu bisa menguasai sekitar 43% suara. Tapi, regulasi politik tidak berpihak kepada parpol Islam. Tahun 1977, kebijakan fusi mengubur impian politisi Islam. PPP yang dipercaya sebagai ‘partai bersama’, hanya memperoleh 29,3%. Begitu seterusnya, menurun dan terus menurun. Pemilu tahun 2009, angka yang sama, 29,3% diperoleh partai Islam.
Kacung juga menyinggung hasil survei sebuah lembaga yang dilakukan Desember 2010. Hasilnya kalau saja parliementary treshold (PT) dipatok 5%, maka hampir semua parpol Islam tamat. PKB, PPP, PKS, PAN juga selesai. Karena menurut survei tersebut, perolehan suara mereka ini hanya sekitar 4 persen bahkan kurang. “Jadi pertemuan PPP dengan kiai-kiai di Kediri kemarin juga tidak ada efek. Ini hanya pertemuan proposal saja,” katanya disambut gerr peserta.
Apalagi, lanjut Kacung, sebagaimana disampaikan Cak Arief (Ketua DPW PKNU Jatim Arief Junaidy, Red.), bahwa deklarator PKNU seperti KH Idris Marzuki juga tidak goyah, tetap di PKNU, tidak pindah ke PPP seperti dilansir media massa. “Sekarang tinggal bagaimana PKNU ‘jualan’ sehingga menarik untuk dipilih. Itu saja,” tegasnya.
Lebih jelas lagi, Kacung yang juga Ketua PBNU memaparkan perubahan-perubahan perilaku pemilih, dan ini bisa menjadi modal dasar PKNU bergerak ke depan. Diakui, bahwa, selain adanya faktor ideologi dan psychology politik, dalam perilaku pemilih ada faktor ‘berjuang’ (beras, baju dan uang) alias money politics. “Yang terakhir ini sangat tidak sehat dalam demokrasi, tetapi tetap harus diantisipasi PKNU,” tegasnya.
Menurut Kacung, yang tak kalah penting adalah membaca massa mengambang (floating mass). Sebab, menurut hasil survei, massa mengambang jumlahnya 30%. Dari jumlah itu, 50% massa mengambang tergantung ‘berjuang’ alias duit, 50% lagi tidak. “Nah, masih ada kesempatan besar bagi PKNU, kalau tidak punya duit, ya jualan program,” tambahnya.
Dalam guyonan Kacung, mengaca pemilu 2009, PKNU modalnya cukup cekak. Tidak tampak iklan-iklan di TV sebagaimana parpol besar. Berbeda dengan Partai Demokrat, PAN, PKB, PDIP, Golkar, bahkan Gerindra dan Hanura, mereka banyak uang. “Saya sendiri sampai heran ini duit siapa dan dari mana. Kalau PAN mungkin jelas Mas Sutrisno Bachir. Nah, dengan dana terbatas, PKNU masih dapat 1,8%, ini sudah luar biasa,” tegasnya.
Hal lain yang harus diperhatikan, katanya, adalah mengambil ancang-ancang politik yang tepat. Sekarang ini, sudah ada parpol yang melakukan identifikasi dan peletakan caleg andal di daerah-daerah tertentu. “PKNU kalau tidak mau ketinggalan harus menata mulai sekarang. Ambil contoh, cari tiga caleg andal di masing-masing Dapil, kalau bisa andal bersama duitnya sekalian, dan letakkan caleg pada tempatnya” ujarnya.
Untuk menyiasati perebuatan kursi, tidak perlu ngecer ke mana-mana. Desain pemilu kita ini perlu dibaca cermat. Ibarat jualan, jangan meletakkan outlet di semua tempat. “Konsentrasi di daerah basis. Jangan mengaburkan tenaga, bisa-bisa seperti nguyahi segoro,” jelas Kacung.
***************************************************************************
0 komentar:
Posting Komentar