Pengamat: "Parliamentary Threshold" Lima Persen Tak Normal

14/04/11

Malang - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang Prof Dr Mas'ud Said menilai usulan kenaikan persentase ketentuan "parliamentary threshold" atau ambang batas perolehan kursi di parlemen dari 2,5 persen menjadi lima persen tidak normal.

"Kalau kenaikannya langsung melonjak menjadi lima persen, itu tidak normal. Persentasenya memang perlu ada perubahan, tetapi tidak harus mencolok hingga 100 persen," katanya, di Malang, Rabu.



Jika persentase sebelumnya 2,5 persen, kata dia maka pada pemilu mendatang paling tidak menjadi tiga persen. Sebab, jika dipaksakan naik menjadi lima persen, kemungkinan besar partai politik (parpol) yang lolos hanya 3-4 parpol.

Ia mengatakan jumlah parpol yang terlalu banyak seperti sekarang memang perlu dipangkas atau dikurangi dengan aturan yang bisa memangkas secara alami, seperti menaikkan persentase perolehan suara yang mencapai ambang batas.

Paling tidak, pada pemilu mendatang hanya ada 15-20 parpol yang lolos "bertarung" memperebutkan kursi parlemen.

Beberapa parpol besar, seperti PDIP, Partai Demokrat dan Partai Golkar mengusulkan "parliamentary threshold" dalam RUU Pemilu mencapai lima persen. Namun, parpol-parpol kecil mengusulkan tiga persen.

Hanya saja, dosen FISIP UMM itu sebelumnya mengemukakan sebagian besar negara maju saja hanya ada dua sampai tiga partai politik. Sementara di Indonesia ada puluhan, ini terlalu banyak dan menjadi 'ribet'.

Guru besar Ilmu Pemerintahan ini mengatakan dinaikkannya persentase ambang batas perolehan kursi di parlemen tersebut dipastikan akan memangkas sejumlah partai politik hingga 50 persen dari jumlah yang ada sekarang.

Ke depan, kata dia atau paling tidak pada saat Pemilu legislatif 2014, aturan baru kenaikan persentase ambang batas perolehan suara tersebut sudah diterapkan supaya lebih simpel dan tidak akan terjadi lagi kejadian-kejadian seperti sebelumnya, dimana parpol yang tidak lolos hanya berganti nama saja.

Dengan adanya pengetatan aturan, kata dosen FISIP UMM itu, akan semakin sulit mendirikan partai baru, padahal tujuan pendirian partai itu hanya untuk mendapatkan dana partai dari pemerintah dan hanya untuk kepentingan para pengurus atau pimpinannya saja.

"Kalau jumlah parpol yang 'bertarung' dalam Pemilu sedikit nisbi lebih ringkas dan efektif, sebab yang tejadi sekarang ini seperti 'saur manuk'. Oleh karena itu kami berharap RUU Pemilu segera diundangkan, sehingga Pemilu 2014 sudah bisa dilaksanakan," katanya.
 sumber: www.antarajatim.com