Ahlussunnah wal Jamaah yang selanjutnya disebut Aswaja adalah merupakan istilah atas kesepakatan kelompok tertentu atau orang lain. Istilah ini tidak kita temukan dalam nash sharih dari Rasulullah. Sebutan Aswaja dalam lintasan sejarah ditujukan kepada kelompok yang berserikat dalam pokok-pokok ajaran yang jelas dan nyata dan bersepakat pada pendapat-pendapat atau aqwal tertentu.
Kalimat Aswaja memiliki arti esensial dari apa yang telah menjadi pokok-pokok dan pendapat-pendapat yang telah menjadi kesepakatan golongan yang dikomandani oleh kelompok moderat yang berusaha atas pemahaman-pemahaman mereka tersebut, yaitu dipelopori oleh al-Asy’ariah dan al-Maturidiyah. Keduanya adalah kelompok moderat yang kemudian disebut dengan Ahlussunnah wal Jamaah.
Kelompok Asya’irah yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dinisbatkan kepada beliau. Sedangkan al-Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidi dinisbatkan kepada nama al-Maturidi. Keduanya ini menjadi populer karena membendung faham Muktazilah.
Akidah Aswaja yang berkiblat kepada deklarasi dua tokoh di atas merupakan jalan tengah (tawassuth) di antara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa itu, yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah (yang dikembangkan oleh Muktazilah). Akidah ini semenjak awal diproklamirkan diterima dengan baik oleh para ulama kaliber, baik ahlu al-hadits, fuqaha’, dan ushuliyyin. Idiologi ini juga diterima oleh Khalifah Utsmani.
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Aswaja hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan khulafa ar-rasyidun. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya aliran Muktazilah pada abad ke II hijriyah.
Aswaja merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Aswaja sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka yang panjang. Ia lahir dengan sebab bahwa ia adalah pondasi ideologi yang tidak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan.
Aswaja an-Nahdliyah
NU sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah Islamiyah dan ijtima’iyyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Aswaja sebagai basis teologi (dasar berakidah), dan menganut salah satu dari empat madzhab fikih, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali sebagai pegangan dalam beribadah dan aplikasi hukum syariat. Dengan mengambil empat madzhab fikih ini menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas NU.
Untuk mencapai tujuannya, maka NU telah merumuskan kerangka berfikir strategis terhadap gerakan jamiyyah yang kemudian dikenal dengan Aswaja an-Nahdliyyah. Konsep ini didasarkan pada doktrin teologis Aswaja yang dijadikan landasan berfikir untuk menentukan arah perjuangan dan dakwah yang ditujukan untuk ishlah al-ummah (perbaikan kondisi umat).
Bahwa dalam merespon permasalahan baik yang berkenaan dengan isu-isu keagamaan maupun kemasyarakatan kontemporer, NU memiliki manhaj sebagai berikut; (1) dalam bidang akidah (teologi) mengikuti pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah, (2) dalam bidang hukum Islam (fikih) bermadzhab quly dan manhajy kepada empat madzhab, dan dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Syaikh Junaidi al-Baghdadi dan Imam Ahmad al-Ghazali.
Sedangkan karakter dari Aswaja an-Nahdliyyah adalah lima pilar kepribadian, yaitu (1) tawassuth (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Maka kader NU tidak tidak bersikap ekstrim, baik ekstrim kiri atau ekstrim kanan, (2) tasamuh (toleran), dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain, (3) ishlah (reformatif), yaitu mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik, (4) tathowwur (dinamis), yaitu selalu melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan dan tantangan, lebih-lebih di era global, dan (5) manhajy (metodologis), yaitu selalu menggunakan kerangka berfikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh ulama.
Komitmen NU untuk berakidah Aswaja ditindak lanjuti dengan aplikasi-aplikasi empiris-teoritis sesuai dengan konteks lokal (keindonesiaan dan atau kenusantaraan) yang pada akhirnya melahirkan term Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah sebagai karakteristik Islam pribumi. Konsep ini merupakan perpaduan antara konsep-konsep akidah dan fiqhiyyah yang ideal (nadzariyah mitsaliyah) dengan realitas kultural dan sosial (al-haalah al-waqi’iyyah). Inilah yang skemudian meniscayakan munculnya konsep tawassuth (moderat), tawazun (berimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (adil) sebagai konsep NU dalam menjalankan misi dakwah Islamiyah ala thoriqoti Ahlussunnah wal Jamaah di negeri ini.
Ramuan Aswaja an-Nahdiyah ini lebih mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai representasi dari nilai-nilai ramatan lil ‘alamin dari ajaran Islam. Hal ini telah didesain sejak awal oleh para penyebar dakwah di negeri ini yang dikenal dengan Wali Songo. Ramuan teologi-ideologi dengan materi fikih empat madzhab itu, NU sebagai rintisan dakwah Wali Songo mampu menyajikan Islam sebagai menu agama yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat pribumi, dan kelak menjadi agama mayoritas hingga klaim negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Dengan ramuan tersebut NU telah mampu menjadi ormas terbesar di negeri ini. Tidak hanya itu, NU telah banyak memberikan sumbangsih kepada besar bagi perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini, membuat organisasi yan didirikan oleh para ulama pada tahun 1926 ini begitu fenomenal dan memiliki keunikan tersendiri di banding ormas lain.
NU dengan berbekal ramuan Aswaja an-Nahdliyahnya dapat beradaptasi dengan realitas bangsa Indonesia yang plural yang kemudian melahirkan tanggung jawab moral untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang toleran. Sehingga nilai-nilai normatif keagamaan yang menjadi pijakan NU dapat diterjemahkan pada realitas. Dan, prinsip-prinsip keteladanan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang dilakukan NU benar-benar terbukti.
Manhaj Dakwah an-Nahdliyah
Sesuai dengan visi dan misi kelahirannya, bahwa NU merupakan jam’iyyah keagamaan yang bergerak di bidang dakwah, yaitu terkait denan masalah keagamaan, pendidikan, dan sosial-kemasyarakatan. Dalam konteks ini pula NU tetap konsisten pada jalur kulturalnya. Modal dakwah kultural ini tak lain adalah melestarikan prestasi dakwah para muballigh Islam awal di bumi nusantara yang lebih dikenal dengan Wali Songo.
Prestasi terbaik dari para Wali Songo adalah kemampuannya dalam menjalin hubungan yang baik dengan tradisi maupun kultur masyarakat lokal. Yakni dengan memperlihatkan kesantunan ajaran Islam disertai perilaku-perilaku yang ramah dan meneduhkan, sehingga tampilan wajah Islam memiliki daya tarik nan memukau kepada penduduk pribumi yang pada akhirnya terus meluas hingga ke pusat-pusat kekuasaan kerajaan di masa itu.
Perlu ditegaskan bahwa keberhasilan Wali Songo tidak terlepas dari strategi dakwahnya. Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat dengan ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktifitas-aktifitas budaya lainnya yan sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai pertumpahan darah. strategi dakwah inilah yang kemudian dikenal dengan model strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam dalam menyikapi proses inkulturasi-akulturtasi.
Para Wali Songo benar-benar memperhatikan seluruh konteks maupun situasi yang melingkupi masyarakat setempat sehingga tampak jelas tidak begitu mementingkan simbol-simbol Islam yang mencerminkan budaya Timur Tengah. Dengan kata lain, upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya lokal yang pernah dilakukan oleh para Wali Songo pada akhirnya melahirkan corak Islam yang khas Melayu-Nusantara atau Islam Indonesia.
Khatimah
Di era yang semakin mengglobal ini, dimana kecanggihan perangkat teknologi modern dan ilmu pengetahuan kian bertambah maju juga menyebabkan problematika umat yang kian kompleks. Ekses sosial maupun limbah modernitas tak lain merupakan tantangan dakwah Islam di era globalisasi. Tentu saja kondisi ini menuntut strategi dan model dakwah yang sebisa mungkin kontekstual dan realistis.
Namun demikian, prestasi dakwah model gerakan kultural sebagaimana yang pernah dirintis oleh Wali Songo tetap dibutuhkan meskipun dalam aplikasinya membutuh-kan revitalisasi atau reformulasi, karena model tersebut telah menunjukkan keberhasilan yang mampu membawa perubahan besar di Indonesia.
Di penghujung tulisan ini, penulis tertarik untuk menggubah mutiara pesan kultural dari salah satu Wali Songo, yang dikenal dengan Sunan Drajat:
“Meneho teken marang wong kang wuto;
Meneho mangan marang wong kang luwe;
Meneho busono marang wong kang wudo;
Meneho ngiyup marang wong kang kudanan.”
Catur piwulang dari Sunan Drajat ini merupakan tuntunan dakwah bil hal yang sekilas terkesan simpel, tetapi sangat besar manfaatnya. Semoga.
Allahumma shalli ’alaa sayyidina Muhammad,
Wa ’alaa aalihi wa shahbihi ajma’in.
Penulis adalah orang NU
tinggal di Surabaya.