Mencari faktor kekuatan Ahlus Sunnah wal Jama'ah

11/05/11

Tema Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah tema yang lahir dari berbagai perbedaan yang terjadi dalam tubuh umat Islam terutama di bidang teologi dan politik. Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah dihadap-hadapkan dengan pemikiran Mu’tazilah pada tataran teologi dan dengan Syiah pada dimensi politik. Posisi yang saling berhadapan itu sampai hari ini masih tetap ada meskipun dengan kadar yang berbeda-beda.

Pada tataran pemahaman akidah, teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah secara factual adalah aliran terbesar umat Islam mengalahkan aliran lainnya. Hal itu terlihat dominasi teologi Ahlussunnah di 85% negeri muslim. Di Indonesia boleh dikatakan bahwa penganut akidah Ahlussunnah mencapai lebih dari 99% jumlah penduduk muslim. Penganut akidah Ahlussunnah tersebar di seluruh daerah dalam berbagai aliran (mazhab) fikih dan organisasi social.

Sementara pada dimensi politik juga terlihat dominasi teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah di dunia Islam. Tetapi dominasi itu bukan merupakan hasil dari perjuangan politik, tetapi lebih dari kondisi cultural semata. Berbeda dengan Ahlussunnah, aliran Syiah justru mendapatkan posisi politik melalui perjuangan politik sehingga menjadi ideology resmi Negara. Pada tataran politik, Sunni dan Syiah masih menyisakan persaingan yang keras dan sepertinya permanen. Perbedaan itu telah menimbulkan berbagai benturan baik berbentuk psikis maupun fisik. Perbedaan pandangan politik antara Sunni dengan Syiah merupakan perbedaan yang selalu mendapat alasan untuk muncul meskipun factor pendukungnya tidak melulu urusan politik praktis dan lebih sebagai perwujudan eksistensi kebangsaan dan kedaulatan kedua belah pihak. Meskipun begitu tidak dapat dibantah masih terdapat usaha yang serius untuk mendekatkan pemahaman kedua belah pihak agar bisa bersinergi secara positif demi membangun peradaban umat Islam yang sudah porak-poranda.

Jika diamati sejarah peradaban dan kebudayaan Islam, maka persoalan pertama yang timbul dalam masyarakat Islam adalah persoalan keimanan (akidah) yang berhubungan dengan keharusan adanya pemimpin agama sepeninggal Nabi Muhammad saw. Pergulatan dan perdebatan seputar penerus Nabi Muhammad saw, meskipun sering disebut sebagai urusan politik, harus ditegaskan bukan persoalan politik praktis seperti pendirian dan perpecahan partai politik yang terjadi akhir-akhir ini. Tetapi persoalannya masuk kategori persoalan akidah pada dimensi kewajiban memiliki pemimpin umat setelah Nabi wafat.

Pada masa awal Islam, perbedaan fikih tidak menjadi sesuatu yang serius sebagaimana persoalan akidah. Belum pernah ditemukan pertikaian yang tajam antara ulama mazhab fikih yang menyebabkan pertumpahan darah sebagaimana terjadi di bidang akidah. Dari perbedaan yang tajam inilah lahir tema Ahlussunnah sebagai bandingan dari Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij dan Murjiah.

Perbedaan dan perpecahan antar golongan dalam Islam telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw. Dalam banyak hadis Nabi dijelaskan bahwa umat Islam akan terbagi kepada 73 golongan.Dari seluruh kelompok hanya satu kelompok yang berada pada jalur yang benar. Kelompok Ahlussunnah mengatakan bahwa kelompok yang selamat itu adalah Ahlussunnah wa al-Jamaah sedang kelompok lain seperti Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah, dan Murjiah adalah kelompok yang sesat dan akan masuk neraka.

Kelompok Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Seperti dijelaskan di atas bahwa tema Ahlus Sunnah wal Jama'ah lebih kental nuansa teologis dan politisnya ketimbang yang lain. Tetapi ini tidak menafikan adanya model fikih dan tasauf a la Ahlussunnah. Dalam bidang akidah yang masuk kelompok Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah kala al-Asy’ari dan al-Maturidi. Dalam bidang fikih mazhab fikih yang 4 (empat) yaitu Hanafiah, Malikiah, Syafiiyah dan Hanbaliah. Dalam bidang tasauf pengikut al-Ghazali dan al-Junaid serta tarekat seperti Naqsyabandiah, Qadiriah, Syattariah dan Syaziliah. Sedang dalam bentuk organisasi masyarakat (Ormas) di Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, al-Irsyad, Persis, Perti, dan yang sejenisnya.

Beberapa doktrin Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang menonjol adalah keharusan berpegang kepada nash al-Quran dan Hadis; senantiasa berada dalam jamaah Islam; dan wahyu mendahului akal. Ahlus Sunnah wal Jama'ah, terutama pada konsep teologinya senantiasa menjadikan wahyu sebagai landasan dan alasan berpijak, sementara logika sebagai penolong untuk menjelaskan wahyu. Dalam bahasa lain, apa yang sudah tertulis dalam wahyu mestinya sudah memadai, tetapi sebagian teks wahyu ada yang sulit diterima apa adanya sehingga perlu penjelasan lebih lanjut untuk menghindari kesalahpahaman. Tetapi penggunaan logika untuk menegaskan makna yang tertulis bukan makna metaforisnya.

Kelompok Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga menghayati pentingnya konsep jamaah, yaitu senantiasa berada dalam lingkar mayoritas (al-sawad al-a’dham) yang menerapkan sunnah Nabi saw. Doktrin ini membuat golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah senantiasa dekat dengan penguasa dan masyarakat luas tanpa banyak menimbulkan gejolak social.

Kekuatan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Apabila berbicara tentang pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah maka dimensi yang paling kuat tarikannya dalam bidang ini adalah berkaitan dengan konsep teologi. Bahkan tanpa mengabaikan berbagai dimensi lain dalam Islam yang juga mengandaikan pemikiran dan pencerahan, tema Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah tema teologis-filosofis. Oleh karenanya tidak keliru jika Abu Hasan al-Asy’ari digelari dengan Syaikh Ahlus Sunnah wal Jama'ah wa al-Jamaah, karena beliau dianggap sebagai peletak dasar-dasar keyakinan akidah kelompok ini. Begitu pula dengan Imam Abu Hamid al-Ghazali yang digelari dengan Hujjatul Islam, karena kepiawaiannya menangkis dan mematahkan argumen teologis Mu’tazilah dan para filosof Muslim. Pada sisi lain Ibnu Taimiyah juga diberi gelar Syaikh al-Islam, karena kehebatannya mengkritisi logikanya Aristoteles dalam buku naqdh al-mantiq dan membungkam filsafat materialisme dalam buku al-rad ‘ala al-dahriyin.

Teologi Ahlussunah dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Kalam Asy’ari yang datang belakangan setelah mazhab fikih dan pembukuan hadis sempurna mampu menjadi kutub yang menghimpun seluruh dimensi fikih, hadis dan tasauf dalam satu keluarga yang bernama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dengan demikian kalam Asy’ari menjadi magnet yang mampu merangkul para fuqaha, muhaditsin dan shufiyah yang secara social-intelektual memiliki basis yang kuat dalam masyarakat Islam. Akidah Asy’ari menjadi paham akidah yang paling luas tersebar di dunia. Sehingga bisa disebut Asy’ari sebagai pemikir Islam klasik yang paling sukses dengan umat yang paling banyak. melampaui batas pemahaman mazhab fikih dan tasauf.

Imam al-Asy’ari membangun teologinya di atas kekuatan nash al-Quran dan Hadis dengan menggunakan argumen logis dan dialektis. Sebagai alumni dari madrasah Mu’tazilah, Abu Hasan al-Asy’ari sangat piawai dalam menggunakan metode Mu’tazilah terutama dialektika Yunani sebagai sarana bukan sebagai ideologi yang harus diperjuangkan. Metode ini disempurnakan oleh Imam al-Ghazali sehingga menjadi akidah Islamiah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang kokoh.

Golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki konsep teologi yang lebih unggul dibandingkan Mu’tazilah, Khawarij dan lainnya. Perpaduan antara wahyu dan logika membuat teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjadi solusi yang dapat diterima oleh berbagai strata social masyarakat. Dari segi metodologinya, teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan jalan tengah antara berbagai ekstrimitas yang ada dalam Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah meskipun memiliki misi untuk meninggikan dominasi wahyu tetapi pada waktu bersamaan juga menggunakan pendekatan ta’wil yang menjadi kekuatan aliran Mu’tazilah. Penggunaan ta’wil dan logika rasional-deduktif sekadar metode untuk mengukuhkan ajaran al-Quran dan Hadis secara ortodoks.

Ahlussunah berusaha memberikan proporsi yang seimbang antara rasionalitas dan tekstualitas. Agama dan system keimanan pada prinsipnya hanya membutuhkan kepatuhan dan kepercayaan yang total. Rasio digunakan untuk merinci model penyerahan total agar tidak terjerumus kepada kesalahan dan kesesatan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah memakai logika dan metode dialektis-rasional bukan untuk kepentingan logika an sich tetapi untuk mengukuhkan apa yang diingini teks suci tersebut.

Kalam Asy’ari atau disebut dengan teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang secara metodologis mampu menggabungkan dogma dengan rasio menjadikannya sebagai Ilmu Ketuhanan yang berbeda dengan konsep ketuhanan yang lain baik secara metodologis maupun substantif. Dalam berbagai kajian ilmiah teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah disebut sebagai sederhana atau sesuai dengan logika masyarakat kebanyakan. Ungkapan ini bisa benar di satu sisi tetapi kurang sempurna di sisi lain. Sesungguhnya konsep kalam al-Asy’ariah belum tereksplor secara keseluruhan terutama yang ditulis oleh tokoh-tokohnya seperti al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali dan al-Idji. Tokoh-tokoh yang disebutkan ini sangat produktif menulis dan mengembangkan teologi Asy’ari sehingga keberadaan teologi ini terjaga sepanjang sejarah.

Di beberapa perguruan Islam, kalam al-Asy’ari hanya diberikan stigma (label negative) sehingga tidak berkembang. Studi kalam hanya berhenti pada stigma tanpa usaha menggali mutiara yang ada di dalamnya. Studi kalam juga mendapat stigma dari para tektualis yang menganggap sebagai bentuk kesesatan dalam akidah Islam. Padahal pemahaman yang dalam terhadap persoalan kalam serta tujuan kalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah akan memberikan penguatan bagi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari segala macam penyimpangan dari akidah para salaf al-shaleh. Semangat para intelektual dan kaum tekstualis seperti ini justru kalah dengan semangat saintis yang berusaha mengolah sampah dan bahkan dari kotoran sekalipun sehingga menjadi energi yang sangat berguna bagi manusia. Konsep teologi tentang kealaman saja umpamanya sarat dengan teori sains dan teknologi.

Teori peciptaan alam (kosmologi) modern yang dimunculkan dalam teori big bang (ledakan besar) sesuai dan sejalan dengan konsep penciptaan model Asy’ari yang mengatakan alam diciptakan dari tiada kemudian menjadi ada (al-ijad min al-‘adam atau creation ex nihilo). Demikian juga dengan teori dualisme dzat dan sifat Allah dalam ketuhanan serta materi (al-maddah) dan aksiden (al-‘aradh) dalam system kealaman. Dengan dualisme ini, stagnasi dapat diatasi dan elemen-elemen alam dapat dipisah dan dikembangkan sesuai dengan target sains. Begitu pula dengan teori al-jauhar al-fard (atomisme) yang dikembangkan oleh al-Asy’ariah sangat sejalan dengan metode ilmu pengetahuan alam yang senantiasa berbicara pada tataran empiris, terukur dan terbatas.

Cukup menarik juga, ternyata konsep teologi Asy’ari (Ahlussusnnah) telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit terhadap konsep teologi Yahudi dan Kristen. Berbagai polemik teologis dan filosofis dalam kedua agama ini mengambil metode dan substansinya dari teologi Asy’ari seperti perdebatan kelompok Saadia (pengaruh kalam al-Ghazali ) dengan Maimonades (pengaruh filsafat Ibnu Rusyd). Sedangkan dalam teologi Kristen juga terjadi polemik antara Bonaventure (pengaruh kalam al-Ghazali) dengan Thomas Aquinas (pengikut Ibn Rusyd atau Avveroism).Diskursus yang diangkat oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini pada gilirannya memperkokoh konsep ketuhanan baik dalam Islam maupun Yahudi dan Kristen.

Kekuatan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga terdapat pada prinsip moderasi atau pertengahannya (washatiah) sehingga tidak berpihak kepada ekstrim kiri-kanan; atas-bawah; psikis-fisik; individu-sosial dan berbagai jenis ekstrimitas lainnya. Keseimbangan merupakan ciri khas dan semangat yang mengilhami pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah, meskipun pada tataran praktis terdapat satu-dua sikap yang lebih dekat kepada salah satu poros.

Terakhir factor yang menjadi penguat teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah kekuatan kulturalnya yang berdampak kepada kekuatan structural. Disebabkan mayoritas umat Islam penganut teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka penguasa negeri-negeri muslim berusaha mengakomodasi keyakinan tersebut sehingga menjadi teologi Negara. Tetapi cara pandang ini bukan satu-satunya teori harus dipakai. Ada cara pandang sebaliknya bahwa “al-ra’iyyatu ‘ala dini mulukihim” bahwa rakyat senantiasa mengikuti keyakinan raja atau pemimpin mereka. Dengan teori ini sebenarnya sangat mungkin justru penguasa yang mewajibkan keyakinan tertentu dan lantas diikuti oleh rakyat seperti yang terjadi berbagai belahan dunia. Jadi sekadar memakai teori pertama terhadap eksistensi dan kebesaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah rasanya kurang tepat, karena boleh jadi hal yang sebaliknya bisa terjadi.

Kesimpulan dan saran

Agar pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah bisa eksis dan memberikan kontribusi positif dalam membangun peradaban Islam, maka diperlukan usaha yang gigih dan serius untuk menghidupkan pembahasan kalam, terutama kalam Asy’ariah dan Maturidiah. Diskursus kalam akan sangat berguna untuk kepentingan internal dan eksternal golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Kepentingan internal adalah untuk menjaga perkembangan pemikiran Islam agar tidak keluar dari koridor yang digariskan dan diikuti oleh para salaf al-shalih seperti berkembangnya gerakan Liberalisme, Permisifisme dan Sekularisme. Kepentingan ekternal adalah untuk menghadapi persoalan dari keyakinan di luar Islam seperti maraknya aliran sesat dengan berbagai argumen teologisnya. Abu Huzail al-Allaf seorang tokoh Mu’tazilah dengan kemampuan berdebatnya (kalam) telah mampu mengislamkan ratusan orang Kristen dengan mengajukan konsep Tauhid versi Mu’tazilah. Hal itu terjadi juga pada teolog Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mampu menerangi jalan setidaknya seperti keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu sendiri.

Persoalan filsafat dan pemikiran yang berkembang di masa kontemporer harus dihadapi dengan bahasa yang sama agar dialog “wa jadilhum billati hiya ahsan” dapat mencapai tujuannya. Dalam sebuah dialog akademik prinsip yang berlaku adalah “al-hujjah bi al-hujjah wa al-burhan bi al-burhan”, alasan rasional harus dengan alasan yang sama. Hal yang sedemikian telah dipahami dan dilaksanakan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Abu Hasan al-Asy’ari berhadapan dengan Mu’tazilah dan Imam al-Ghazali berhadapan dengan para filosof muslim.

Menghidupkan studi kalam dengan sendirinya akan menghidupkan semangat kritis terhadap teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu sendiri. Kritik yang berdasar kepada analisa ilmiah dan objektif akan mengokohkan bangunan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tanpa kritik yang konstruktif, maka sebuah pemikiran akan menjadi barang mati yang hanya berguna pada masa tertentu dan menjadi peninggalan sejarah di masa yang lain.

Dr. Eka Putra Wirman, MA.
Dosen Jurusan Akidah-Filsafat
Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang